Tren batu akik kini menjadi ladang mata pencaharian baru bagi sebagian
orang. Kilauan batu akik ini diyakini para perajin dan pengolah batu
mampu mendulang rupiah. Tapi kilauan batu akik itu tak selalu
berbanding lurus dengan fakta yang terjadi di daerah-daerah
penambangan.
Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, mengatakan penambangan batu giok
atau akik ini menambah daftar tantangan yang dihadapi sumberdaya alam
Aceh atas pengerusakan lingkungan hidup. Bahkan bencana ekologi,
seperti banjir dan longsor merupakan kejadian yang terus mengulang
hingga awal tahun 2015.
"Belum cukup semua pihak belajar dari fakta-fakta yang sudah menimpa
kerugian Aceh dari sektor pengerusakan sumberdaya alam oleh berbagai
bisnis sektor sumberdaya yang merusak tanpa terkendali," kata Direktur
Walhi Aceh, Muhammad Nur melalui keterangan tertulisnya kepada
VIVA.co.id, Selasa, 20 Januari 2015.
Di Aceh, dan beberapa daerah lainnya, tren batu akik dinilai menjadi
salah satu sumber pendapatan baru warga. Tapi sayangnya, para warga
lupa menghitung untung-rugi atau dampak lingkungan yang ditimbulkan
pasca pengambilan bongkahan batu-batu sebagai bahan baku untuk diolah
menjadi perhiasan.
"Semua pihak harusnya paham bahwa bumi ini, tanah ini butuh penjaga
keseimbangan sebagai penyangga," ujar M Nur.
Meski karakteristik penambangan batu akik ini masih menggunakan
cara-cara tradisional, tapi menurut UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, harusnya tidak bisa
diabaikan begitu saja sebagai payung hukum yang memberikan
perlindungan bagi keseimbangan ekosistem.
Nur menambahkan, jika dianggap terjadi kekosongan hukum dalam hal
pertambangan jenis giok atau batu akik ini sudah tentu akan membuat
Aceh sering kecolongan dari sektor pencegahan yang masif terhadap
penambangan batu giok yang ada di Aceh.
"Demi menjaga kekayaan sumberdaya alam Aceh idealnya semua pihak harus
mengambil peran memberikan perlindungan dengan cara tidak ikut andil
merusak lingkungan yang semakin mengkhawatirkan," ucapnya.
sumber : vivanews.com
orang. Kilauan batu akik ini diyakini para perajin dan pengolah batu
mampu mendulang rupiah. Tapi kilauan batu akik itu tak selalu
berbanding lurus dengan fakta yang terjadi di daerah-daerah
penambangan.
Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, mengatakan penambangan batu giok
atau akik ini menambah daftar tantangan yang dihadapi sumberdaya alam
Aceh atas pengerusakan lingkungan hidup. Bahkan bencana ekologi,
seperti banjir dan longsor merupakan kejadian yang terus mengulang
hingga awal tahun 2015.
"Belum cukup semua pihak belajar dari fakta-fakta yang sudah menimpa
kerugian Aceh dari sektor pengerusakan sumberdaya alam oleh berbagai
bisnis sektor sumberdaya yang merusak tanpa terkendali," kata Direktur
Walhi Aceh, Muhammad Nur melalui keterangan tertulisnya kepada
VIVA.co.id, Selasa, 20 Januari 2015.
Di Aceh, dan beberapa daerah lainnya, tren batu akik dinilai menjadi
salah satu sumber pendapatan baru warga. Tapi sayangnya, para warga
lupa menghitung untung-rugi atau dampak lingkungan yang ditimbulkan
pasca pengambilan bongkahan batu-batu sebagai bahan baku untuk diolah
menjadi perhiasan.
"Semua pihak harusnya paham bahwa bumi ini, tanah ini butuh penjaga
keseimbangan sebagai penyangga," ujar M Nur.
Meski karakteristik penambangan batu akik ini masih menggunakan
cara-cara tradisional, tapi menurut UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, harusnya tidak bisa
diabaikan begitu saja sebagai payung hukum yang memberikan
perlindungan bagi keseimbangan ekosistem.
Nur menambahkan, jika dianggap terjadi kekosongan hukum dalam hal
pertambangan jenis giok atau batu akik ini sudah tentu akan membuat
Aceh sering kecolongan dari sektor pencegahan yang masif terhadap
penambangan batu giok yang ada di Aceh.
"Demi menjaga kekayaan sumberdaya alam Aceh idealnya semua pihak harus
mengambil peran memberikan perlindungan dengan cara tidak ikut andil
merusak lingkungan yang semakin mengkhawatirkan," ucapnya.
sumber : vivanews.com
ConversionConversion EmoticonEmoticon