Hilangnya Roh Partai Politik

PRESIDEN pertama RI Soekarno dalam bukunya, Mencapai Indonesia

Merdeka, pernah berkata, "Partailah yang memegang obor, partailah yang

berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh

dengan ranjau-ranjau sehingga menjadi jalan terang."

Mengacu pada kondisi perpolitikan kini, cita-cita Soekarno itu terasa

utopis. Bagaimana mau menerangi jalan dan berfungsi sebagai sarana

pengatur konflik apabila parpol kini dirundung awan gelap? Itulah

kondisi dua partai legendaris Indonesia, Partai Golkar dan Partai

Persatuan Pembangunan (PPP), yang selama beberapa bulan terakhir ini

terpecah.

Perebutan kursi ketua umum partai berujung pada kepengurusan ganda.

Kalangan elite, kader, sampai tokoh senior, terbelah menjadi kubu-kubu

yang terpisah. Kantor kepengurusan pusat diperebutkan. Perundingan

untuk mencapai islah (perdamaian) belum mencapai titik temu

sepenuhnya.

Padahal, harga yang dibayar tidak main-main. Selain kehilangan wibawa

di hadapan publik, kader partai di daerah terancam tidak bisa

mendaftar sebagai bakal calon kepala daerah tahun ini. Ketua DPP

Golkar versi Munas Ancol Leo Nababan bahkan mengibaratkan partainya

seperti dinosaurus. "Eksistensi Golkar hanya dimaknai sebagai pernah

ada (di pilkada sebelumnya), tetapi (kini) tidak ada lagi," katanya,

dalam suatu perbincangan santai.

Di sisi lain, konflik partai yang berkepanjangan dikhawatirkan akan

memengaruhi kinerja fraksi-fraksi di parlemen, yang Senin (12/1) ini

akan memasuki masa sidang ketiga.

Situasi bangsa ke depan juga penuh dengan tantangan. Salah satunya,

Pasar Terbuka ASEAN yang bergulir 2015. Negara membutuhkan parpol yang

kokoh, yang bisa menopang negara di tengah tantangan.

Lagu lama

Sebenarnya, fenomena perpecahan parpol bukan barang baru. Polarisasi

dalam tubuh partai telah terjadi berulang kali sepanjang sejarah

perpolitikan Indonesia.

Partai Nasional Indonesia (PNI) pernah mengalami konflik yang dipicu

pertanyaan sejumlah anggotanya yang lebih "radikal" terkait komitmen

pengabdian PNI terhadap persoalan rakyat. Mereka menilai, pemimpin PNI

saat itu terlalu kompromistis. Tidak setuju dengan pergerakan partai

yang menjauh dari cita-cita awal, mereka lalu keluar dari PNI.

Perpecahan juga pernah menimpa Sarekat Islam (SI) pada sekitar 1920.

Dualisme saat itu terjadi akibat ketidaksamaan pandangan anggota

mengenai dasar ideologi dan perjuangan partai, yang terpecah antara

paham komunisme dan Islam.

Masing-masing pihak berkukuh dengan keyakinan ideologinya hingga

menimbulkan friksi. SI Semarang yang mengusung paham komunisme pada

akhirnya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara

kelompok dengan ideologi Islam tetap bertahan di Central Sarekat Islam

(CSI).

Meski telah terjadi sebelumnya, ada perbedaan yang signifikan antara

konflik parpol dulu dan sekarang. Dulu, konflik muncul akibat adanya

perbedaan pandang tentang gagasan besar partai. Sekarang, gesekan di

internal partai mengerdil menjadi sebatas perebutan kursi kekuasaan.

Ideologi dan cita-cita penentu arah pergerakan parpol sebagai pilar

demokrasi malah semakin dilupakan.

Munculnya kepengurusan ganda di Partai Golkar, misalnya, dimulai

perebutan kursi kepemimpinan partai antara golongan muda dan tua.

Golongan muda Golkar, diwakili Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang

Kartasasmita, Airlangga Hartarto, dan lain-lain, mencalonkan diri

sebagai ketua umum dalam Munas IX Golkar.

Mereka menginginkan adanya regenerasi yang demokratis di tubuh partai

berlambang pohon beringin itu. Akan tetapi, dengan skenario aklamasi,

Ketua Umum (petahana) Aburizal Bakrie yang dianggap mewakili golongan

tua terpilih lagi sebagai Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas IX di

Bali.

Tidak puas, para kader muda menggelar munas tandingan di Ancol,

Jakarta, yang menghasilkan kepengurusan baru di bawah kepemimpinan

Agung Laksono. Golkar pun terpecah menjadi dua. Perpecahan itu bahkan

dibawa sampai ke parlemen demi menegaskan eksistensi kekuasaan

masing-masing kubu. Mengutip Ketua DPP Golkar versi Munas Ancol

Melchias Mekeng, "DPP sana (kubu Ical) punya fraksi di DPR. DPP kami

(kubu Agung) juga harus punya."

Fungsionaris Partai Golkar, Hajriyanto Thohari, ikut menyindir

perpecahan yang terjadi di partainya. Konflik di Partai Golkar saat

ini hanya seputar perebutan jabatan yang sama sekali tidak berdimensi

ideologis. "Konflik muncul semata-mata karena ambisi kekuasaan dan

saling berebut jabatan politik di internal partai. Mereka bahkan tidak

sadar, tindakan mereka bisa membuat Golkar lebih terpuruk pada Pemilu

2019," kata Hajriyanto.

Egoisme demi mempertahankan jabatan dan kekuasaan juga terlihat di

tubuh PPP. Proses islah belum mencapai titik temu karena masing-masing

kubu merasa memiliki legalitas.

Merger dan pembagian kursi kepengurusan secara proporsional di luar

munas atau muktamar tidak mudah. Peneliti Riset Pusat Pengkajian

Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Ikrar Nusa Bhakti

mengatakan, tiap elite partai berkepentingan untuk mempertahankan

jabatan dan kekuasaannya. Hal itu berpotensi menuju kebuntuan.

Tak dapat dimungkiri, parpol tak cuma kehilangan wibawa di mata

publik, tetapi juga kehilangan roh sebagai organisasi sosial-politik.

Upaya lebih dari elite parpol untuk membuang ego dan rasa haus

kekuasaan amat diwajibkan. Hanya dengan demikianlah, parpol kembali

pada roh dan cita-citanya: menjadi penerang bagi perjalanan bangsa

yang gelap dan penuh ranjau. (AGNES THEODORA WAGUNU)



Sumber : Kompas.com
Previous
Next Post »
Thanks for your comment